BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan
disampaikan dalam bentuk neraca, laporan kinerja disampaikan dalam bentuk
laporan laba rugi, dan laporan perubahan posisi keuangan disampaikan dalam
bentuk laporan perubahan ekuitas. Dari ketiga laporan ini, ditambah lagi
laporan mengenai arus kas dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dalam
bentuk laporan arus kas, dan laporan informasi kualitatif perusahaan berupa
catatan atas laporan keuangan. Dari ke lima bentuk laporan keuangan di atas,
laporan mengenai laba rugi adalah laporan yang paling banyak diminati karena
laporan laba rugi menyediakan informasi peningkatan atau penurunan kinerja
keuangan suatu perusahaan. Secara definitif, laporan laba rugi adalah laporan
utama untuk melaporkan kinerja dari suatu perusahaan selama suatu periode
tertentu terutama tentang profitabilitas yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan tentang sumber ekonomi yang akan dikelola oleh suatu perusahaan di
masa yang akan datang (Ikatan Akuntan Indonesia, 2002). Di samping itu, selain
menginformasikan mengenai laporan kinerja, yang terpenting dari laporan laba
rugi adalah laporan tentang laba.
Laporan keuangan
merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar
korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih
rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil,
namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada
pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari
aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang
secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan
sebutan manajemen laba.
Laporan
keuangan
yang disusun
berdasarkan
akuntansi
akrual memberikan
keunggulan karena informasi laba perusahaan dan pengukuran komponennya mempunyai
indikasi yang lebih baik dibandingkan informasi yang dihasilkan dari akuntansi berbasis kas
(FASB 1978). Dalam pelaksanaannya, Standar Akuntansi memperbolehkan manajer untuk
memilih
kebijakan
akuntansi dalam
pelaporan
laba,
namun
kebijakan
ini
menimbulkan
peluang bagi manajer untuk mengelola laba. Gumanti (2000) menyatakan bahwa manajemen laba muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya-upaya manajer atau pembuat laporan
keuangan untuk melakukan manajemen informasi akuntansi, khususnya laba (earnings), demi kepentingan
pribadi
dan/atau
perusahaan.
Earnings atau
laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar
pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya digunakan
untuk menilai kinerja perusahaan ataupun kinerja manajer sebagai dasar untuk
memberikan bonus kepada manajer, dan juga digunakan sebagai dasar penghitungan
penghasilan kena pajak. Manajemen laba merupakan hal yang perlu dipahami oleh
akuntan karena akan meningkatkan pemahaman mengenai kegunaan informasi net
income, baik yang dilaporkan kepada investor, kreditor, maupun fiskus.
Sampai saat ini
manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi
keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor,
berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi
laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di
lain sisi pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap
bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka
dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.
Manajemen laba (earnings management) muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya-upaya manajer atau pembuat laporan keuangan
untuk melakukan manajemen
informasi
akuntansi,
khususnya laba
(earnings),
demi
kepentingan
pribadi
dan
atau perusahaan. Manajemen laba itu sendiri
tidak dapat diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba.
Pada prinsipnya manajemen laba merupakan suatu cara dalam menyajikan
informasi laba
kepada publik yang sudah disesuaikan dengan interest atau kepentingan dari pihak manajer
itu sendiri atau menguntungkan perusahaan.
Manajer
sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan
prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang
saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan
sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.
Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan
kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak
simetris atau asimetris informasi (information asymetric). Asimetris
informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi
dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham).
Asimetri
antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan
kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh
keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan
manajemen laba (earnings management) untuk menyesatkan pemilik (pemegang
saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis
tertarik untuk membahas mengenai: “Pengaruh dan peran asimetris informasi
terhadap kegiatan manajemen dalam melakukan praktik manajemen laba”
BAB II
PEMBAHASAN
ASIMETRIS INFORMASI DALAM
PRAKTIK MANAJEMEN LABA
A. Manajemen Laba
a. Defenisi Manajemen Laba
Manajemen
laba adalah campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan
eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan untuk menguntungkan
dirinya sendiri atau perusahaan sendiri (Saputro
dan Setiawati, 2004). Hal senada juga diungkapkan Copeland (1968) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba
sebagai usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk
perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.
Schipper
(1989) mendefinisikan manajemen
laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses
pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa
keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba
sebagai tindakan seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan
(menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi
tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi
unit tersebut dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999),
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam
pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan,
dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa
stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil
perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang
dilaporkan.
Healy dan
Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung
beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan
dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan
dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan
dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva
tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang
dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk metode
akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen
laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal
ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat
diakses oleh pihak luar.
Scott
(2000) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut: “Given
that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it
is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own
utility and/or the market value of the firm”.
Dari
definisi tersebut manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh
manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan
utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Scott (2000) juga membagi cara
pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku
oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak
kompensasi, kontak utang, dan political costs (Opportunistic Earnings Management).
Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
(Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham
perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba
(income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
b.
Motivasi
Manajemen Laba
Beberapa motivasi terjadinya manajemen laba menurut Scott (1997) dalam
Sukartha (2007), yaitu:
1) Motivasi
Program Bonus (Bonus Plan Motivations).
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara opportunistic untuk melakukan
manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
2) Motivasi
politik (Political Motivations)
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena
adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan yang lebih
ketat.
3) Motivasi
Perpajakan (Taxation Motivations)
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak
pendapatan.
4) Motivasi
perubahan CEO (Changes of CEO Motivations)
CEO (Chief Executive Officer)
yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk menaikkan
bonus mereka, dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan
pendapatan agar tidak diberhentikan.
5) Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan
manajer perusahaan yang akan go public
melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan
harga saham perusahaan.
6) Motivasi
perjanjian utang (Debt Covenants
Motivations)
Perjanjian utang timbul karena adanya kontrak jangka panjang yang dilakukan
oleh manajemen laba. pelanggaran terhadap hal tersebut akan mengakibatkan biaya
yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk
menghindari terjadinya pelanggaran terhadap covenant.
Healy dan Wahlen (1999) dalam
Qomariyah (2006) membagi motivasi earnings
management menjadi tiga, yaitu:
1. Capital Market
Penggunaan secara luas informasi
akuntansi oleh investor dan analis keuangan untuk membantu menilai saham dapat
menciptakan insentif bagi manajemen untuk memanipulasi laba dalam usaha
mempengaruhi harga saham.Constructing Motivations
Healy dan Wahlen (1999) dalam
Qomariyah (2006) membaginya menjadi dua, yaitu: lending constract dan management
compensation constract. Esensi penjelasan Healy dan Wahlen (1999) sama
dengan uraian Scott (2000) di atas, dimana penjelasan lending constract motivatons sama dengan other constractual motivations dan management compensations, constract
motivations sama dengan bonus scheme
motivations.
2. Regulatory Motivations
Terdapat tiga bentuk dalam motivasi ini, yaitu:
-
Industry
Regulations Motivations
Industri-industri diatur dengan
derajat pengaturan berbeda di masing-masing industri, beberapa diantaranya
seperti industri perbankan dan asuransi menghadapi pemantauan yang lebih ketat
oleh pihak regulator termasuk data-data akuntansi. Peraturan perbankan
mengharuskan bank mencapai Cumulative
Abnormal Return (CAR) tertentu, sedangkan peraturan asuransi menghasilkan
perusahaan asuransi memenuhi syarat-syarat kesehatan keuangan minimum.
Peraturan seperti ini menciptakan insentif bagi manajemen untuk mengatur
laporan keuangan dan neraca sesuai dengan kepentingan pihak regulator.
-
Anti-trust
and Other Regulations
Perusahaan yang berbeda di dalam
penyelidikan pelanggaran anti-trust
atau menghadapi konsekuensi politik yang tidak menguntungkan memiliki insentif
untuk mengatur labanya agar tampak kurang menguntungkan. Manajemen yang
memiliki subsidi dan proteksi pemerintah juga memilki insentif yang sama.
-
Tax Planning
Purposes
Healy dan Wahlen (1999) tidak
menjelaskan bagian ini, karena menurutnya earnings management untuk tujuan
perencanaan pajak merupakan bagian tugas (dominant)
otorisasi pajak yang memiliki insentif yang sama.
c.
Teknik
Manajemen Laba
Setiawati dan Na’im (2000) dalam
Rahmawati dkk. (2006) mengungkapkan bahwa manajemen laba dapat dilakukan oleh
tiga teknik sebagai berikut:
1. Memanfaatkan
peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba
melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi
tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau
amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain –lain.
2. Mengubah
metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang
digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah metode depresiasi
aktiva tetap, dari depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser
periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa periode biaya atau
pendapatan antara lain : mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian
dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau
menunda pengeluaran pengiriman produk ke pelanggan, dan mengatur saat penjualan
aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.
d.
Pembentukan
Manajemen Laba
Menurut Sutrisno (2002), terdapat
beberapa aspek manajemen laba yang berhubungan dengan tujuan penelaahan dan
studi yang relevan, yaitu:
1. Manajemen
dapat menggunakan pertimbangan dari pengaruh pelaporan keuangannya. Sebagai
contoh, pertimbangan yang disyaratkan untuk mengestimasi jumlah kejadian
ekonomi dimasa mendatang yang direfleksikan dalam laporan keuangan, seperti
taksiran ekonomis dan nilai sisa aktiva tetap, keuntungan dari penangguhan
pajak, kerugian piutang, dan sebagainya.
2. Kerangka
definisi tujuan dari manajemen laba adalah untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada stakeholders atau beberapa kelompok stakeholders tentang kinerja yang
mendasari ekonomi perusahaan. Manajer dapat menggunakan pertimbangan akuntansi
untuk melakukan pelaporan keuangan yang lebih informatif kepada pemakai.
3. Untuk
menentukan pelaksanaan yang lebih awal, manajemen dapat menggunakan laporan
keuangan dengan pertimbangan cost and
benefit. Cost merupakan potensi
kesalahan alokasi sumber daya yang timbul dari manajemen laba, sedangkan benefit meliputi potensi pengembangan
kredibilitas komunikasi manajemen dari informasi privat untuk stakeholders
eksternal.
e. Pola manajemen laba
Adapun pola manajemen laba adalah sebagai berikut :
·
Taking a bath, Manajemen melaporkan kerugian
dengan nilai lebih besar dengan tujuan melaporkan laba lebih besar dimasa yang
akan datang sehingga memperoleh bonus yang lebih besar. (Scott 2003)
·
Income Minimization, Pola hampir sama dengan taking a bathtetapi tidak ekstrim
dan dilakukan dengan menggunakan kebijakan akuntansi yang mengurangi laba.
(Scott 2003)
·
Income Maximization, Pola dilakukan dengan mengklasifikasikan sebagian harga
beli sebagai inporcess research and development yang kemudian segera dihapuskan
sehingga mengurangi biaya amortisasi sehingga laba menjadi meningkat dimasa
yang akan datang (C.Mulford dan E.Commiskey 2002 dalam Wondabio 2007)
·
Income Smooting, Pola meratakan laba perusahaan dalam rentang bogey dan cap agar bonus
yang diterima konstan (Scott 2003).
·
Cookie jar , Manajemen secara bebas membentuk cadangan dimasa booming yang
kemudian digunakan untuk meratakan laba dimasa sulit. Dimasa booming tersebut
cadangan cenderung diperbesar sehingga dapat digunakan pada saat perusahaan
mengalami kerugian ataupun penurunan laba agar perusahaan tidak terlihat jelek.
(C.Mulford dan E.Commiskey 2002 dalam Wondabio 2007)
·
Revenue Recognition, Penjualan periode dimasa datang diakui sebagai
penjualan pada periode berjalan dan atau menggeser biaya penjualan periode berjalan
keperiode mendatang untuk menghasilkan laba pada tahun berjalan yang lebih
tinggi atau sebaliknya jika ingin menurunkan laba. (Wondabio 2007).
Praktik
manajemen laba
Menurut
Gumanti (2000) dapat menggunakan proksi discretionary
accruals, yaitu:
“Discretionary accruals adalah kebijakan akuntansi akrual yang memberikan keleluasaan bagi manajer dalam menentukan jumlah transaksi aktual secara fleksibel”. Jika terjadi discretionary accruals positif maka perusahaan melakukan income maximization, dan jika terjadi discretionary accruals negatif maka perusahaan melakukan income minimization.
“Discretionary accruals adalah kebijakan akuntansi akrual yang memberikan keleluasaan bagi manajer dalam menentukan jumlah transaksi aktual secara fleksibel”. Jika terjadi discretionary accruals positif maka perusahaan melakukan income maximization, dan jika terjadi discretionary accruals negatif maka perusahaan melakukan income minimization.
Watt dan Zimmerman (2006) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu:
1.
Bonus
plan hypothesis.
hipotesis bonus
plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk
menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini.
2.
Debt
to equity hypothesis. debt to equity hypothesis.
debt to equity
hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to
equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode
akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba
3.
Political
cost hypothesis. political cost hypothesis.
political cost
hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya
menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang
dilaporkan.
Praktik
manajemen laba hanya dapat dilakukan oleh manajer yang dapat mengobservasi laba
ekonomi perusahaan untuk setiap periode. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat
menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh
perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.
USchift
dan Lewin dalam Arief Ujiyantho (2007) menjelaskan bahwa:
“Manajer berada pada posisi yang mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan asimetris informasi yang dimilikinya akan mendorong manajer untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pemegang saham dan stakeholder. adanya kondisi yang asimetri, maka manajer dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba”.
“Manajer berada pada posisi yang mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan asimetris informasi yang dimilikinya akan mendorong manajer untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pemegang saham dan stakeholder. adanya kondisi yang asimetri, maka manajer dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba”.
B.
Asimetris informasi
Informasi
akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan asimetri
informasi. Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder
lainnya. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat
oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara
investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan
biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk
saham-saham perusahaan (Komalasari, (2000) dalam Siti, (2004).
Menurut
Scott (2000:105) menyatakan bahwa : “Asimetris Informasi
(information asymmetry) merupakan sebuah konsep yang paling penting dalam teori
akuntansi keuangan (financial accounting theory)."
Sedangkan menurut
Beaver yang terdapat dalam jurnal Puput Tri Komalasari (2001)
menyatakan bahwa : “Asimetris informasi adalah
istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi investor dalam perdagangan saham
yaitu investor yang more informed dan investor yang less informed.”
Dari teori yang
diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa asimetris informasi merupakan
sebuah konsep yang paling penting dalam teori akuntansi keuangan. Karena hal
ini berhubungan dengan keputusan investasi yang dilakukan oleh investor, karena
dengan adanya asimetris informasi mengakibatkan investor memiliki informasi
yang berbeda. Contohnya saat salah satu investor memiliki informasi yang lebih
sedikit maka dia kekurangan informasi sehingga mempengaruhi keputusan investasi
yang akan diambilnya dan sebaliknya saat dia memiliki informasi yang lebih
banyak dia bisa memutuskan investasi yang menguntungkan baginya. Oleh karena
itu adanya perbedaan informasi yang diperoleh dapat merugikan investor.
Manajer
sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan
prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang
saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan
sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.
Laporan keuangan dimaksudkan untuk
digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun
yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para
pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi
para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam
kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal
(para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan
mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat
ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna
eksternal.
Situasi ini akan memicu munculnya
suatu kondisi yang disebut sebagai asimetris informasi (information
asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan
informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper)
dengan pihak pemegang saham dan stakeholder
pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Menurut Scott (2000),
terdapat dua macam asimetris informasi yaitu:
1.
Adverse
selection, yaitu bahwa para manajer serta
orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan
prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin
dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut
tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
2.
Moral
hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi
pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin
tidak layak dilakukan.
Adanya
asimetris informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent
untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri.
Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1)
manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi
yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya
dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.
C.
Hubungan Antara Asimetris informasi dengan Manajemen
Laba
Schift
dan Lewin (1970) dalam Hartono dan Riyanto (1997), menyatakan bahwa agent
berada posisi yang mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri,
lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal.
Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan
diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent
untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada posisi
yang tidak diuntungkan.
Dalam
penyajian informasi akuntansi, khususnya penyusunan laporan keuangan, agent
juga memiliki informasi yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel
mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan kepentingannya. Tujuan
laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan,
kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi
sejumlah besar pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi
(IAI, 2002). Namun karena adanya kondisi
yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang
disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Teori Keagenan
Masalah agensi telah
menarik perhatian yang sangat besar dari para peneliti di bidang akuntansi
keuangan (Fuad, 2005). Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan
antara shareholder dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang
maksimal antara mereka. Sebagai agent,
manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga mempunyai
kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka.
Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi
kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling, 1976).
Teori keagenan dapat
dipandang sebagai suatu versi dari game theory (Mursalim, 2005),
yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak),
dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principal.
Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making kepada
agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan
suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai
dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent
maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan
bersama.
Scott (2000)
menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja
antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan
dengan krediturnya. Kontrak kerja yang dimaksud dalam penulisan makalah ini
adalah kontrak kerja antara pemilik modal dengan manajer perusahaan. Dimana
antara agent dan principal ingin memaksimumkan utility masing-masing
dengan informasi yang dimiliki.
Tetapi di satu sisi, agent
memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding
dengan principal di sisi lain, sehingga menimbulkan adanya asimetry
information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu
untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utilitynya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini
investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan
oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena
itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor.
Asimetri
antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan
kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh
keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan
manajemen laba (earnings management) untuk menyesatkan pemilik (pemegang
saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
D.
Peran
Asimetris Informasi dalam Manajemen Laba.
Beberapa peneliti
telah menemukan bahwa asimetri informasi dapat mempengaruhi manajemen laba.
Teori keagenan (Agency Theory) mengimplikasikan adanya asimetri
informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah
pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer
lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. dikaitkan
dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi,
manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor
guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
Keberadaan asimetri informasi dianggap
sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006)
berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri
informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan
mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama
jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
Fleksibelitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan
menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan
keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
asimetris
informasis
merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek
perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Asimetris informasi
akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya
terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer
Pilihan
metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan
tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba atau Earnings management. Dalam
kaitannya hubungan antara asimetris informasi dengan praktik manajemen laba ini sangat kuat dimana
adanya asimetris informasi dapat mendorong manajemen untuk malakukan praktik
manajemen laba. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rahmawati dkk. (2006) pada perusahaaan perbankan publik, yang berpendapat
bahwa: “Terdapat hubungan yang sistimatis antara magnitut asimetris informasi dan tingkat
manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi
dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas
laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.”
Pengungkapan
informasi keuangan dan informasi yang relevan lainnya dalam laporan keuangan
tahunan suatu perusahaan merupakan aspek penting dalam akuntansi keuangan.
Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk
manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan dengan
laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar manajemen).
Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali
karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya
(Ali, 2002). Para pengguna internal (para manajemen) memiliki kontak langsung
dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan
yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi
tidak sebesar para pengguna eksternal. Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi
yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Praktik
manajemen laba hanya dapat dilakukan oleh manajer yang dapat mengobservasi laba
ekonomi perusahaan untuk setiap periode. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat
menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh
perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.
Informasi
akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan asimetri
informasi. Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder
lainnya. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat
oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara
investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan
biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk
saham-saham perusahaan (Komalasari, (2000) dalam Siti, (2004).
Dalam
penyajian informasi akuntansi, khususnya penyusunan laporan keuangan, agent
juga memiliki informasi yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi
pelaporan keuangan untuk memaksimalkan kepentingannya. Tujuan laporan keuangan
adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta
perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2002). Namun karena adanya kondisi yang asimetri,
maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam
laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Asimetri
informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi
dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka
dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangka memaksimumkan utilitynya.
saya mau tanya, kan saya melakukan penelitian tentang pengaruh asimetri informasi terhadap manajemen laba, tapi hasil penelitian saya menunjukkan kalau tsk ada pengaruh antara asimetri informasi thd manajemen laba. yang saya ingin tanyakan, apakah ada jurnal2 pendukung yang hasil penelitiannya sama dengan saya.
BalasHapusterima kasih